Rabu, 20 Mei 2009

MAKNA FILOSOFIS HAJI MABRUR


Kita merasa bahagia dan bersyukur bahwa kaum Muslimin di Indonesia yang berziarah ke Tanah Suci semakin meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan yang menggembirakan itu tentunya harus diiringi dengan suatu upaya penggalian terhadap makna dan relevansi ziarah tersebut secara substansial.

Karena pada hakikatnya ibadah haji bukan merupakan ibadah ritual semata. Lebih dari itu, ibadah haji adalah napak tilas perjalanan hamba-hamba Allah yang suci; Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, Siti Hajar, dan Ismail. Peristiwa yang mereka jalani amat historis, oleh sebab itu banyak pelajaran bagi kita.

Haji merupakan ibadah yang amat penting. Ibadah ini, oleh para ulama, ditempatkan sebagai rukun Islam yang kelima. Haji merupakan serangkaian ritual yang akan mengantarkan pelakunya menjadi manusia yang bersih. Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang melakukan haji tidak melakukan rafats dan tidak berbuat fasik, ia kembali seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.”

Pada sisi lain, setiap orang yang melaksanakan ibadah haji bertujuan untuk memperoleh haji yang mabrur. Tujuan itu bukannya tanpa alasan, terkait dengan hal ini, Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik amal ialah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian jihad fi sabilillah, kemudian haji mabrur.” Pada kesempatan lain Rasulullah juga bersabda, “Jihadnya orang yang sudah tua dan jihadnya orang yang lemah dan wanita ialah haji mabrur.”  

Makna Haji Mabrur

Haji bisa dikatakan mabrur jika orang yang melakukannya, sepulang dari menunaikan ibadah haji menunjukkan komitmen dan solidaritas sosial yang tinggi. Ibadah haji bisa dinilai baik dan dikatakan mabrur bila secara sosial orang yang melaksanakannya selalu memberikan manfaat kepada orang-orang yang ada di sekitarnya.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda, “...tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga.” Dengan kata lain surga adalah tempat yang pantas bagi orang yang hajinya mabrur. Hadits ini memang pantas untuk kita renungkan muatannya. Di sini, timbul pertanyaan yang perlu untuk dijawab, “mengapa haji mabrur balasannya surga?”

Secara matematis, yaitu dengan memahami makna haji mabrur itu sendiri, kata mabrur berasal dari bahasa Arab yang artinya mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Kalau kita lihat akar katanya, mabrur berasal dari kata barra, yang berarti berbuat baik atau patuh. Dari kata barra ini kita bisa mendapatkan kata birrun dan al-birru yang artinya kebaikan. Dengan kata lain haji mabrur adalah haji yang akan mendapatkan kebaikan. Sering juga dikatakan sebagai ibadah yang diterima Allah Swt. Dengan demikian, haji mabrur adalah haji yang mendatangkan kebaikan bagi pelakunya atau pelakunya selalu memberikan kebaikan kepada orang lain. Jika logika itu dibalik, maka haji yang mardud (tertolak) adalah haji yang tidak mendatangkan kebaikan bagi pelakunya atau pelakunya tidak memberikan kebaikan kepada orang lain.

Jika dipahami secara seksama, kata mabrur memiliki dua makna sekaligus, yaitu menjadi baik dan memberikan kebaikan. Makna itu menegaskan bahwa pelaksana ibadah haji adalah orang yang akan menjadi baik sekaligus selalu memberikan kebaikan kepada orang lain. Dalam hal apakah kebaikan itu harus diwujudkan? Allah berfirman, “Kamu tidak akan mendapatkan kebaikan yang sempurna, sebelum kamu mendermakan sebagian hartamu yang kamu cintai.” (Q.s. Ali-Imran [3]: 9). Ayat ini didukung pula oleh ayat lain, “Bukanlah menghadapkan wajah kamu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, para nabi, dan memberikan harta yang dicintainya...” (Q.s. Al-Baqarah [2]: 177).

Dua ayat tersebut berbicara tentang kebaikan (al-birr). Kebaikan itu di antaranya dengan memberikan harta yang dicintainya kepada orang lain. Karena kata mabrur seakar dengan kata “birr” sebagaimana disebutkan pada dua ayat itu, maka haji mabrur adalah haji yang pelakunya selalu berbagi kebaikan kepada orang lain.

Ada cerita menarik di kalangan para sufi tentang haji mabrur ini. Dikisahkan bahwa sepasang suami istri mempunyai niat yang sangat kuat untuk menunaikan ibadah haji. Dengan susah payah pasangan ini mengumpulkan bekal. Karena waktu itu naik haji melalui jalan darat dan jarak yang harus ditempuh adalah ribuan kilometer, maka mereka juga harus membawa bekal yang banyak agar tidak kekurangan.

Di tengah perjalanan mereka menjumpai berbagai hal yang menarik. Termasuk ketika pasangan ini memasuki sebuah kampung yang kehidupan penduduknya sangat miskin dan sedang dilanda kelaparan. Kondisi kampung yang menyedihkan itu menyentuh hati suami istri tersebut. benak mereka dipenuhi dengan karagu-raguan, akan tegakah mereka membiarkan orang-orang ini mati kelaparan, sedangkan di tangan mereka ada bekal, meskipun untuk perjalanan haji yang sudah amat lama mereka idam-idamkan.

Dalam suasana terenyuh ini terpikir oleh mereka untuk memberikan bekal haji yang sedang mereka bawa, lalu mereka pulang. Sampai di rumah ternyata mereka diambut oleh seseorang yang pakaiannya putih bersih. Orang yang belum mereka kenal ini  mengucapkan selamat bahwa mereka berdua telah diberkati oleh Allah mendapatkan haji mabrur. Tentu saja pasangan ini menyangkal, karena mereka merasa tidak menunaikan ibadah haji. Namun, orang yang tidak kenal itu tetap mengucapkan kata selamat kepada pasangan suami istri tersebut atas kemabruran haji mereka. Setelah menyampaikan ucapan selamat, orang asing berpakaian putih bersih itu menghilang. Ternyata, orang asing itu adalah malaikat yang menjelma menjadi manusia. 

Makna Filosofis

Dalam tradisi sufi, cerita semacam itu bisa didramatisir, sehingga tidak perlu untuk diuji kebenarannya. Yang penting bagi kita adalah hikmah dan pesan moral yang terkandung di dalam cerita itu. Kita tidak boleh menafsirkan cerita itu secara ekstrem, dengan meninggalkan ibadah haji dan memberikan semua bekal perjalanan yang kita miliki demi kemanusiaan. Jika kita tafsirkan secara lunak dan sederhana, cerita itu memberikan kesan kepada kita bahwa kita dipersilahkan untuk menunaikan ibadah haji sebanyak yang kita mau.

Tapi perlu untuk diingat, frekuensi kita menunaikan ibadah haji harus selalu diikuti dengan kepedulian sosial yang kita berikan kepada saudara-saudara kita. Artinya, ibadah haji harus kita wujudkan ke ruang publik setelah sebelumnya merupakan ruang privat. Ibadah haji harus mampu kita maknakan dalam konteks sosial yang dinamis, bukan konteks pribadi yang statis dan cenderung hedonis.

Memang, ibadah haji merupakan ibadah ritual yang tata cara pelaksanaannya sudah ditentukan sedemikian rupa. Jika ditelusuri lebih dalam, ibadah haji memberikan pesan yang amat filosofis dan begitu dalam tidak hanya bagi pelakunya, namun bagi orang yang tidak melaksanakannya. Bayangkan saja, setiap tahun kaum Muslimin dari seluruh penjuru dunia berkumpul di satu tempat, berpakaian sama, atau membaca lafadz yang sama.

Pertemuan tahunan itu mengisyaratkan bahwa mereka adalah bersaudara walaupun mereka dipisahkan oleh bahasa, bangsa, dan letak geografis yang berjauhan. Kaum Muslimin tidak sendirian. Mereka mempunyai saudara yang jumlahnya amat banyak. Mereka ibarat satu tubuh dan saling menguatkan. Mereka harus saling mempedulikan bagaimana nasib saudara mereka.

Selain itu, jika pelaksanaan haji melanggar sebuah larangan, maka mereka harus membayar dam (denda). Membayar damadalah kewajiban ritual yang harus dipenuhi. Tapi, kemanakah dan kepada siapa dam itu diserahkan? Tentu kepada saudara-saudara mereka yang tidak seberuntung seperti mereka. Hal itu membuktikan bahwa mereka harus memiliki kepedulian sosial.

Sepulangnya mereka menunaikan ibadah haji dan sesudah mereka tiba di kampung halaman masing-masing, mereka harus mewujudkan nilai-nilai haji di tengah-tengah masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa mereka harus menangkap makna filosofis haji itu secara baik. Makna filosofis itu harus menjadi terminal awal bagi perjalanan kehidupan mereka.

Makna filosofis ibadah haji yang dilaksanakan secara baik di tengah-tengah kehidupan masyarakat, membuktikan bahwa pelaksananya memperoleh haji yang mabrur. Haji mabrur tidak hanya menjadikan pelakunya sebagai orang yang baik dari waktu ke waktu, tapi juga komitmen untuk memperhatikan nasib saudara-saudaranya. Itulah sesungguhnya makna haji mabrur. Wallahu a’lam bishshawab.


Sumber:
Muhammad Qorib, Sekretaris Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PWM Sumut; dan Staf Edukatif FAI Univ. Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan. 
Suara Muhammadiyah No. 21/Th. Ke-93/1-15 November 2008 
20 Mei 2009

Sumber Gambar:

IBADAH HAJI DAN TRANSFORMASI DIRI


Ibadah haji merupakan salah satu bentuk ibadah yang memiliki makna multi aspek, ritual, individual, politik psikologis dan sosial. Dikatakan aspek ritual karena haji termasuk salah satu rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan setiap muslim bagi yang mampu (istitho’a), pelaksanaannya diatur secara jelas dalam Al Quran. Haji sebagai ibadah individual, karena keberhasilan haji sangat ditentukan oleh kualitas pribadi tiap-tiap umat Islam dalam memahami aturan dan ketentuan dalam melaksanakan ibadah haji.

Haji juga merupakan ibadah politik, sebab mulai dari persiapan sampai pelaksanaanya, peran dan partisipasi pemerintah (Departemen Agama) sangatlah dibutuhkan. Aspek psikologis ibadah haji berarti setiap individu jamaah harus memiliki kesiapan mental yang kuat dalam menghadapi perbedaan suhu, cuaca (iklim), budaya daerah yang tentunya berbeda dengan situasi (iklim) bangsa Indonesia. Yang tidak kalah pentingnya dari ibadah haji adalah makna sosial, yaitu bagaimana para jamaah haji memiliki pengetahuan, pemahaman dan mampu serta mau mengaplikasikan pesan-pesan simbolik ajaran yang ada dalam pelaksanaan ibadah haji ke dalam konteks kehidupan masyarakat.

Syarat dan rukun ibadah haji tidak semata-mata hanya untuk kepentingan transendental (habl min-Allah) tetapi justru yang paling penting adalah dapat mengambil makna di balik simbolisasi ritualitas haji untuk membentuk kepribadian atau moralitas pergaulan antar sesama manusia. (habl min al-Naas) Dengan demikian, memahami dan menemukan makna sosial dalam ibadah haji menjadi suatu keniscayaan bagi setiap umat Islam umumnya dan para jamaah haji khususnya.

Dewasa ini, haji telah dijadikan sebagai salah satu ukuran atau parameter untuk melihat status sosial seseorang. Hal ini disebabkan orang yang berhaji dianggap sebagai orang Islam yang shaleh, karena telah menyempurnakan agamanya (baca: rukun Islam), dan secara ekonomi termasuk orang yang kaya atau lebih dari cukup (baca: cukup dari segi materi). Alasan itulah yang digunakan masyarakat kita pada umumnya untuk menilai orang yang dapat melakukan ibadah haji. Sehingga orang yang telah mampu melaksakannya dinilai sebagai orang yang telah “sempurna” agamanya. Ibarat makanan 4 sehat 5 sempurna, dikatakan belum lengkap jika belum memenuhi aspek yang ke-5, yaitu minum susu. Demikian juga rukun Islam dikatakan belum sempurna jika belum menunaikan ibadah haji. Haji berfungsi sebagai pelengkap (komplementer) dari rukun islam yang lain.

Merupakan suatu keharusan bagi individu umat Islam yang memenuhi panggilan Allah ke tanah suci Makkah-Madinah, untuk merenungkan esensi dan substansi haji di tengah simbolitas dan formalitas syarat-rukunnya. Diharapkan, dengan refleksi mendalam makna di balik itu, jamaah haji menemukan energi transformasi internal menuju terbentuknya kesalehan ritual dan sosial yang menjadi barometer kebahagiaan dunia akhirat.

Sampai sekarang, mayoritas umat ini masih terjebak dalam simbolitas syarat-rukun, tanpa mampu mengungkap makna substansial di balik itu. Maka, pasca haji tidak ada transformasi internal dalam kehidupannya. Kebanyakan orang lebih memaknai ibadah haji sebagai ibadah yang hanya penuh dengan ritual simbolik-transedental saja. Artinya, predikat haji bagi seseorang hanya dilihat dari kemampuan berangkat dan datang kembali ke Tanah Air dengan disertai oleh-oleh “khas” haji (cerita unik atau pengalaman religius) yang beraneka warna. Padahal, jika kita berfikir dan merenungkan, ibadah haji juga banyak mengandung makna sosial. Hal ini didasarkan pada substansi Islam sebagai agama rohmatan lil’alamiin.

Kesalehan ritual dan sosial adalah ibarat dua mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan. Kesalehan ritual mampu membuat orang menjadi shaleh sosial dan shaleh sosial muncul karena intensitasnya melakukan ritual. Tidak ada aspek ritual-transendental yang lepas dari orientasi sosial. Dalam sebuah hadits disebutkan, ketika Nabi sedang khotbah di Masjid Nabawi mendapat interupsi dari malaikat Jibril yang memanjatkan 3 (tiga) doa kehadirat Allah. Nabi saw yang mendengar doa itu mengamini sambil meneteskan air mata karena sedih. Ketiga doa itu adalah, “Ya Allah, jangan engkau terima puasa orang-orang yang senantiasa bertengkar antara suami istri”, “Ya Allah, janganlah Engkau terima puasa mereka yang suka bertengkar di antara tetangga”, “Ya Allah, janganlah Engkau terima puasa mereka yang memberi beban terlalu berat kepada karyawan atau pembantu rumah tangga selama bulan puasa” (Abu Su’ud, 2004). Ini adalah salah satu indikator, diterimanya ibadah ritual sangat terlihat dari interaksi sosialnya yang selalu dihiasi moralitas luhur.

Lalu, bagaimana dengan haji? tentu saja, nilai dan hikmahnya berlipat ganda dibanding yang lain. Oleh sebab itu, jamaah haji harus mengetahuinya. Salah satu caranya adalah mengungkap makna di balik syarat dan rukunnya. Makna sosial ibadah haji dapat diambil dari serangkaian kegiatan yang dilakukan selama ibadah haji berlangsung. Di antara kegiatan ritual haji yang mengandung makna sosial (Muchit:2003) antara lain:

Ihram, mengandung makna melepaskan dan membebaskan diri dari lambang material dan ikatan kemanusiaan, mengkosongkan diri dari mentalitas keduniawiaan, membersihkan diri dari nafsu serakah angkara murka, kesombongan serta kesewenang-wenangan.Thawaf, mengandung isyarat keluar dari lingkungan manusia yang buas masuk ke dalam lingkungan Rabbaniyah yang penuh kasih sayang, saling menghargai dan saling menghormati. Sebelum thawaf, jamaah haji terlebih dahulu melontar jumrah sebagai pertanda mengusir setan yang menggoda Nabi Ibrahim as, Nabi Ismail as dan Siti Hajar. Setiap jamaah haji harus selalu berusaha mengusir godaan setan yang bersarang dalam dirinya. Sa’i, mengandung isyarat kesediaan menjalankan tugas dan tanggung jawab (berjalan) bagi jamaah haji ke arah hal-hal yang positif dan bermanfaat untuk dirinya dan orang lain. Tahallul, (memotong rambut) mengandung isyarat pembersihan, penghapusan sisa-sisa cara berfikir yang kotor yang masih berada dalam kelopak kepala masing-masing manusia. Jamaah haji yang telah menjalankan tahallul mesti harus memiliki cara berfikir, konsep kehidupan yang bersih, baik, tidak menyimpang dari etika dan norma sosial maupun agama.

Makna sosial ibadah haji mengajarkan kepada umat Islam umumnya dan jamaah haji khususnya senantiasa merubah pikiran, sikap serta perilaku (tindakan) yang lebih bermanfaat untuk masyarakat dan orang lain, jangan sampai memiliki persepsi bahwa ibadah haji itu hanya untuk Allah, justru yang paling penting adalah ibadah haji itu diperuntukkan bagi sesama manusia dengan cara selalu menjaga, menghormati, menghargai serta saling menjunjung tinggi martabat manusia. Sabda rasul dalam dalam kitab Ruhul Bayan Jilid II: “Tidak akan berhasil bagi orang yang melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci jika tidak membawa tiga hal; (1) sikap wara’ yang membendung dirinya melakukan yang diharamkan, (2) sikap sabar yang dapat meredam amarah, (3) dan bergaul baik dengan sesama manusia”.

Haji yang mampu mentransformasikan pribadi menjadi insan shalih dan akram seperti inilah yang dinamakan Haji Mabrur, yang dalam hadits Nabi dijanjikan dengan surga. Wa al-Hajju al-Mabruru Laisa Lahu al-Jazau illa al-Jannah (haji mabrur tidak ada balasan yang pantas kecuali surga). Sebaliknya, haji yang hanya bertendensi isqatul fardli (hanya melaksanakan kewajiban) atau malah ada pretensi dan ambisi duniawi (popularitas, nama besar dan status sosial lainnya), tidak begitu banyak manfaatnya. Karena ia telah mereduksi haji hanya ritualitas tanpa menemukan makna reflektif-transformatif sosialnya. (10 Juni 2007)

Sumber :

Abdul Halim Fathani,  Alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Malang dan Aktifis Lingkar Cendekia Kemasyarakatan (LACAK) Malang

http://www.penulislepas.com/v2/?p=49
20 Mei 2009
Sumber Gambar:
http://islamictorrents.net/bitbucket/hajj1.jpg

HAJJ

MAKAM NABI IBRAHIM



Makam Ibrahim bukanlah kuburan Nabi Ibrahim sebagaimana dugaan atau pendapat sebahagian orang-orang kebanyakan. Ia adalah merupakan bangunan kecil yang terletak lebih kurang 20 hasta di sebelah timur Kaabah. Di dalam bangunan kecil ini terdapat sebiji batu yang diturunkan oleh Allah dari Syurga bersama-sama dengan Hajarul Aswad. Di atas batu itu Nabi Ibrahim berdiri di waktu baginda membangunkan Kaabah dan puteranya Nabi Ismail memberikan batu kepadanya.

Batu itu dipelihara Allah, sekarang ini sudah ditutup dengan perak. Sedangkan bekas kedua tapak kaki Nabi Ibrahim panjangnya 27 cm, lintangnya 14 cm dan dalamnya 10 cm masih nampak dan jelas dilihat.

Atas perintah Khalifah Al Mahdi Al Abbasi di sekeliling batu makam Ibrahim itu telah diikat dengan perak dan dibuat kandang besi berbentuk sangkar burung.


Sumber :

http://www.al-azim.com/haji/Makam_Ibrahim.htm

Sumber Gambar :

http://naqvibrothers.net/pic_gallery/makamaibr.jpg

http://www.al-azim.com/haji/Makam_Ibrahim.htm

IBADAH HAJI DAN TRADISI BERZIARAH


Islam mengajarkan pada umatnya agar saling kenal mengenal, tidak saja terhadap orang-orang semasa hidupnya, melainkan juga terhadap orang-orang yang hidup di masa jauh sebelumnya. Kitab suci al Qur’an memperkenalkan nama-nama para rasul, nabi dan orang-orang terpilih lainnya. Selain itu, sebagai salah satu rangkaian ibadah haji adalah wukuf di Arofah. Dalam sejarahnya, di tempat itu Nabi Adam dan Hawa bertemu setelah sekian lama saling berpisah mengembara, sesudah diusir dari Surga. Dan di situ pula, anak cucunya setahun sekali, mereka dengan warna kulit, bentuk tubuh, bahasa dan etnis yang berbeda datang dari berbagai penjuru dunia, bertemu bersama-sama dalam satu waktu, melakukan kegiatan spiritual, kegiatan itu selanjutnya disebut dengan ibadah haji itu. 

Keturunan Adam dan Hawa, setelah sekian lama berkembang biak menjadi milyaran jumlahnya. Mereka tersebar luas di seluruh wilayah bumi -----tentu yang bisa ditempati, dari utara hingga ke selatan, dan dari barat hingga paling timur. Sekalipun mereka berbeda-beda dari berbagai aspeknya, mereka bertemu di Arofah, di mana dua manusia -----laki-laki dan perempuan, yaitu Adam dan Hawa, bertemu pertama kali. Di tempat ini pula dalam sejarahnya, ayat al Qur’an yang terakhir, diturunkan. 

Rangkaian ibadah haji lainnya, yaitu thawaf di sekeliling Ka’bah. Bangunan ka’bah dan juga hijir Isma’il, maqom Ibrahim, mas’a, sumur zam-zam semua itu adalah mengingatkan pada peristiwa sejarah, berupa peristiwa dan kisah manusia yang dimuliakan oleh Allah swt. Bangunan Ka’bah, hijr Isma’il dan maqom Ibrahim adalah bangunan monumental yang terkait langsung dengan persoalan kemanusiaan dan juga ketuhanan. Kisah Ibrahim yang diungkapkan dalam al Qur’an, menunjukkan adanya kesadaran seseorang sebagai makhluk, dan sekaligus kesadaran upaya mengenal penciptanya. Melalui pencaharian yang panjang, maka diperolehlah petunjuk tentang siapa sesungguhnya Yang Maha Pencipta itu, yakni Allah swt. 

Sejarah kehidupan Hajar bersama anaknya bernama Isma’il, mantan budak perempuan dari Mesir yang ditinggal pergi lama oleh suaminya, ibrahim as, di tanah yang gersang, di suatu lembah Makah. Tempat itu gersang dan tandus, tidak tersedia makanan termasuk air untuk keperluan minum. Ketabahannya yang luar biasa itulah kemudian dijadikan sejarah kemanusiaan yang berkualitas tinggi. Dalam kisahnya, tatkala Isma’il kehausan, maka Hajar berlari-lari dari bukit Shofa ke Marwa hingga tujuh kali, akhirnya kemudian didapat pasir yang berair. Tempat itulah, dalam kisahnya kemudian dikenal dengan sumur zam-zam yang selalu mengeluarkan air melimpah, sampai sekarang. Air itu, tidak saja mencukupi kebutuhan minum, penduduk Makah yang berjumlah ratusan ribu, bahkan pada saat-saat tertentu berjumlah juta’an, mereka itu adalah para peziarah tanah suci yang memiliki sejarah besar. 

Sekalipun bukan menjadi rangkaian ibadah haji, para jama’ah haji juga berziarah ke Masjid Nabawi. Di masjid itu dimakamkan Rasulullah saw, termasuk sahabat Nabi Abubakar ra dan Umar, ra. Seluruh jama’ah haji secara bergantian, selain sholat berjama’ah di masjid itu, mereka secara bergantian berziarah makam Rasulullah dan kedua Sahabatnya itu. Para perziarah tersebut, sekalipun mereka berasal dari negeri yang berbeda, mungkin juga madzhab yang berbeda-beda, akan tetapi dalam kesempatan itu, tidak menunjukkan perbedaannya. Mereka semua datang mendekat makam Rasulullah saw dan kedua Sahabatnya, di masjid itu dengan keadaan penuh takdzim, memuliakan dan berdoa. 

Mereka yang datang ke kota Madinah juga berziarah ke beberapa tempat, di antaranya ke Masjid Kuba’, masjid pertama kali yang didirikan oleh Rasulullah, dan juga ke masjid-masjid lainnya. Ziarah juga dilakukan ke beberapa makam para suhada’, yakni orang-orang yang terbunuh tatkala mempertahankan agamanya, Islam. Kegiatan sebagai rangkaian kegiatan haji dan juga lainnya itu menunjukkan betapa Islam memberikan ajaran tentang pentingnya mengenal sejarah dari orang-orang yang hidup terdahulu, untuk dijadikan pelajaran atau ibrah dalam rangka meningkatkan kaualitas hidupnya kemudian hari secara terus menerus menuju kesempurnaannya. 

Sayang sekali, ziarah yang dilakukan oleh para jama’ah haji yang berasal dari berbagai penjuru tersebut, tidak pernah disempurnakan dengan kunjungan ke beberapa pusat kebudayaan dan peradaban negeri yang lahir seorang nabi yang menjadi anutannya ini. Pusat kebudayaan dan peradaban dimaksud misalnya perpustakaan, museum, pusat-pusat pengembangan ilmu dan teknologi, lembaga pendidikan termasuk universitasnya. Akibat keterbatasan peluang itu, maka negeri ini belum terlalu dikenal luas, bahwa telah memiliki lembaga pengembangan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya cukup besar, seperti telah adanya kampus-kampus, misalnya Universitas King Abdul Azis di Jeddah, Universitas Ummul Quro, Universitas King Saud, Universitas Imam dan beberapa universitas besar lainnya. Saudi Arabia juga memiliki pusat pengembangan ilmu dan teknologi yang cukup besar di Riyad. 

Jama’ah haji dan umrah, biasanya hanya boleh berkunjung ke tiga kota, yaitu Jeddah, Makkah dan Madinah. Ke kota-kota selain itu, tidak diperkenankan, kecuali mengurus visa lagi, dan itu ternyata tidak mudah. Inilah salah satu sebab, mengapa Saudi tidak dikenal memiliki budaya modern. Bahkan ketika menyaksikan pertandingan sepak bola dunia, dan Saudi arabia tampil, tidak sedikit orang bertanya-tanya dan keheranan, ternyata Saudi Arabia pun bisa bermain sepak bola. Di Riyad, ibukota Saudi Arabia terdapat perguruan tinggi, lengkap dengan berbagai fasilitas olah raga, seperti lapangan sepak bola, kolam renang, bowling dan lain-lain. Fasilitas olah raga itu umumnya dibangun berstandar internasional. 

Para jama’ah haji, sengaja oleh pemerintah Saudi tidak diperkenalkan pada budaya modernnya, seperti perpustakaan, pusat-pusat pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk lembaga pendidikan tingginya, selain mungkin khawatir ngurusnya tidak gampang, juga agar mereka terkonsentrasi pada kegiatan ziarah. Ziarah selalu berkonotasi mengingat masa lalu, sedang mengenal budaya modern selalu mengingatkan pada kehidupan masa depan yang dekat. Masa depan yang dekat, maksudnya adalah kehidupan saat ini, dengan berbagai hiruk pikuk pemenuhan nafsu duniawi. Sedangkan masa depan yang jauh ----lawan kata dekat, adalah kehidupan nanti di akherat, yang hal itu bisa ditumbuh-kembangkan melalui bukti-bukti atau peristiwa sejarah masa lalu. 

Disadari atau tidak, pengambilan kebijakan itu, menjadikan negeri Arab Saudi tidak dikenal sebagai negeri yang sesungguhnya telah mengikuti perkembangan modern. Banyak orang mengira di Saudi hanya dicetak kitab-kitab tafsir, hadits, fikih dan seterusnya. Padahal lewat sejumlah universitas besar yang dimiliki, tidak sedikit kegiatan penelitian yang dihasilkan, demikian pula berbagai buku-buku teknik, kedokteran, arsitektur, perminyakan, elektronik, komupter dan lain-lain telah dihasilkan di sana. Umpama ibadah haji, tidak saja dikemas sebatas pada orientasi ziarah, dalam makna mengenal kehidupan sejarah masa lalu, tetapi juga mengenal perkembangan budaya dan peradaban negeri tempat kelahiran nabi saat ini, maka ibadah haji akan menemukan maknanya yang lebih utuh dan sempurna. Allahu a’lam. (18 Desember 2008)

Sumber :
20 Mei 2009

Sumber Gambar :

KOMERSIALISASI IBADAH HAJI


Sebanyak 210.000 orang yang terbagi dalam 493 kloter, tahun ini menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Dari jumlah tersebut, sebanyak 191.000 merupakan haji reguler dan sisanya haji plus. Mereka harus menghadapi musim dingin yang menggigit di tanah haram Saudi Arabia. Jika persiapan secara fisik dan psikis tidak prima, dikhawatirkan akan banyak yang jatuh sakit, di mana tahun lalu lebih dari 400 jemaah haji meninggal dunia. 

Ibadah haji sesungguhnya merupakan ibadah mahdhoh (ritual) dan termasuk rukun Islam kelima. Sehingga setiap jemaah haji hanya berkeinginan mendapatkan haji mabrur yang tidak lain pahalanya adalah jannah (surga). Sejak dari persiapan di Tanah Air hingga tiba dan kembali dari Tanah Suci jelas memerlukan waktu, tenaga dan biaya tidak sedikit. 
Maka sangatlah disayangkan jika ibadah murni yang hanya mengharap keridaan Allah SWT tersebut justru dikomersialkan, sehingga lebih dikedepankan aspek bisnisnya daripada ibadahnya. Maka tidaklah mengherankan jika banyak kita temui berbagai biro perjalanan haji dan umroh memasang iklan besar-besaran di media massa. Bahkan berbagai Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) sama memasang tarif hingga jutaan rupiah hanya untuk konsultasi dan bimbingan bagi calon jemaah haji. 

Boleh dikatakan pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan setiap tahun menjadikan pekerjaan raksasa bagi Departemen Agama (Depag) sebagai penyelenggara tunggal sejak tahun 1950-an. Sebab untuk tahun ini saja selain memberangkatkan 210.000 jemaah haji, juga melibatkan 3.400 petugas haji termasuk petugas kesehatan. Dari jumlah sebesar itu, pemerintah menyediakan 565 pemondokan di Mekah di mana setiap pemondokan akan diisi rata-rata 350 orang. 


Pemondokan akan dibagi dalam ring 1 dan 2, di mana ring 2 sebanyak 196.781 jemaah (80,79 persen) berjarak sekitar 1,5 km dari Masjidil Haram sehingga terpaksa disediakan bus shuttle. Sementara sisanya 30.161 jemaah (18.19 persen) yang menempati ring 1 dengan jarak cukup dekat dari Masjidil Haram, tidak disediakan bus untuk transportasi dari pemondokannya.  

Belum  lagi persoalan transportasi udara yang hanya menggunakan Garuda Indonesia dan Saudi Arabia Airlines, katering di mana tahun 2006 lalu sempat menimbulkan kasus kelaparan para jemaah pada waktu wukuf di Arafah, proses money changer, pengembalian uang transpor bagi jemaah haji yang berada pada ring 2 dan sebagainya. Kesemuanya itu harus memerlukan manajemen yang benar-benar profesional, sehingga tidak lagi terjadi insiden memalukan sebagaimana tahun sebelumnya.   

Sesungguhnya komersialisasi ibadah haji tidak hanya terjadi di dalam negeri, tetapi juga di Arab Saudi sendiri. Terbukti para syekh yang menguasai muasasah (pemondokan) baik di Mekah maupun Madinah, sama memasang tarif tinggi untuk sewa pemondokannya. Apalagi demi penghematan terutama pada penyediaan air sehari-hari karena memang air di sana selalu membeli, para pemilik muasasah tersebut sebagian ada yang mengingkari perjanjian untuk menyediakan air secukupnya bagi para jemaah. Maka tidaklah mengherankan jika banyak jemaah yang kekurangan air sehingga terpaksa mandi sehari sekali atau dua hari sekali.    

Dengan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) tahun ini yang mencapai Rp 32 juta, menjadikan para jemaah haji seperti sapi perahan dari para oknum yang tidak bertanggungjawab. Padahal niat mereka hanya tulus untuk beribadah mencari derajat haji mabrur. 


Penyelenggara Haji

Sejak dari transportasi hingga katering, semuanya dikomersialkan. Terbukti transportasi hanya dimonopoli oleh Saudia dan Garuda dengan masing-masing mendapatkan jatah 50 persen, sehingga setiap perusahaan penerbangan tersebut mengangkut 105.000 jemaah haji. Padahal dari biaya perjalanan jemaah haji reguler yang mencapai Rp 32 juta, 60 persen (Rp 19,2 juta) dihabiskan untuk transportasi udara. Sedangkan dengan harga BBM saat ini hanya 65 dolar AS per barelnya, kedua perusahaan penerbangan tersebut jelas menuai keuntungan besar karena harga avtur sebagai bahan bakar pesawat juga turun drastis. 

Padahal penentuan BPIH dilakukan beberapa bulan lalu sewaktu harga minyak dunia mencapai puncaknya 146 dolar AS per barelnya. Seharusnya dengan turunnya harga minyak dunia, maka BPIH perlu direvisi untuk diturunkan menyesuaikan harga minyak dunia. Selain itu, untuk menekan biaya transportasi udara serendah mungkin, perlu diadakan tender yang melibatkan perusahaan penerbangan internasional lainnya. 

Itupun baru dari sisi transportasi, belum lagi asuransi, akomodasi dan pemondokan yang semuanya dikomersialkan. Untuk asuransi haji, meski diadakan tender tetapi sesungguhnya pemenangnya sudah dapat diketahui sebelumnya. Untuk asuransi haji, jelas perusahaan asuransi jiwa mendapatkan keuntungan miliaran rupiah setiap tahunnya, di mana untuk tahun lalu setiap jemaah dikenakan biaya asuransi Rp 120.000. Bagi yang meninggal dunia, keluarganya diberi santunan sesuai dengan BPIH. 

Dengan rata-rata jemaah haji yang meninggal dunia kurang lebih 400 orang, maka perusahaan asuransi haji akan menuai keuntungan bersih sebesar Rp 10 miliar. Sementara dari  sisi akomodasi dengan dalih untuk mendapatkan harga lebih murah dengan makanan berkualitas baik, Depag menunjuk perusahaan asuransi tunggal Anna Cetering untuk menanggani akomodasi ribuan jemaah haji Indonesia yang sedang wukuf di Arafah tahun 2006 lalu, sehingga menimbulkan tragedi kelaparan yang sangat memalukan tersebut. 

Sekarang pertanyaan adalah, bagaimana agar ibadah haji tidak dikomersialkan dan jemaah haji tidak lagi menjadi sapi perahan bagi oknum tertentu yang hanya mengejar fulus saja. Pertama, setiap item dari pelaksanaan ibadah haji harus melalui tender, termasuk transportasi udara, akomodasi, pemondokan dan sebagainya. Sehingga segala biaya dapat ditekan serendah mungkin seperti Malaysia. 

Kedua, Depag jangan menjadi penyelenggara tunggal ibadah haji. Departemen lainnya harus juga dilibatkan sebagai penyelenggaran haji, bahkan kalau perlu ormas keagamaan seperti MUI, Muhammadiyah dan NU juga diikutsertakan. Ketiga, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Ibadah Haji perlu direvisi karena sudah ketinggalan zaman dan tidak mencerminkan konsep keterbukaan sehingga dikhawatirkan menimbulkan penyelewengan. (7 november 2008)

Sumber :

Abdul Rodhi (  Ketua LAZIS Muhammadiyah Kabupaten Klaten)

http://harianjoglosemar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=28920

20 Mei 2009 

Sumber Gambar:

http://www.wi-fiplanet.com/img/2007/12/hajj.jpg