Rabu, 20 Mei 2009

KOMERSIALISASI IBADAH HAJI


Sebanyak 210.000 orang yang terbagi dalam 493 kloter, tahun ini menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Dari jumlah tersebut, sebanyak 191.000 merupakan haji reguler dan sisanya haji plus. Mereka harus menghadapi musim dingin yang menggigit di tanah haram Saudi Arabia. Jika persiapan secara fisik dan psikis tidak prima, dikhawatirkan akan banyak yang jatuh sakit, di mana tahun lalu lebih dari 400 jemaah haji meninggal dunia. 

Ibadah haji sesungguhnya merupakan ibadah mahdhoh (ritual) dan termasuk rukun Islam kelima. Sehingga setiap jemaah haji hanya berkeinginan mendapatkan haji mabrur yang tidak lain pahalanya adalah jannah (surga). Sejak dari persiapan di Tanah Air hingga tiba dan kembali dari Tanah Suci jelas memerlukan waktu, tenaga dan biaya tidak sedikit. 
Maka sangatlah disayangkan jika ibadah murni yang hanya mengharap keridaan Allah SWT tersebut justru dikomersialkan, sehingga lebih dikedepankan aspek bisnisnya daripada ibadahnya. Maka tidaklah mengherankan jika banyak kita temui berbagai biro perjalanan haji dan umroh memasang iklan besar-besaran di media massa. Bahkan berbagai Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) sama memasang tarif hingga jutaan rupiah hanya untuk konsultasi dan bimbingan bagi calon jemaah haji. 

Boleh dikatakan pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan setiap tahun menjadikan pekerjaan raksasa bagi Departemen Agama (Depag) sebagai penyelenggara tunggal sejak tahun 1950-an. Sebab untuk tahun ini saja selain memberangkatkan 210.000 jemaah haji, juga melibatkan 3.400 petugas haji termasuk petugas kesehatan. Dari jumlah sebesar itu, pemerintah menyediakan 565 pemondokan di Mekah di mana setiap pemondokan akan diisi rata-rata 350 orang. 


Pemondokan akan dibagi dalam ring 1 dan 2, di mana ring 2 sebanyak 196.781 jemaah (80,79 persen) berjarak sekitar 1,5 km dari Masjidil Haram sehingga terpaksa disediakan bus shuttle. Sementara sisanya 30.161 jemaah (18.19 persen) yang menempati ring 1 dengan jarak cukup dekat dari Masjidil Haram, tidak disediakan bus untuk transportasi dari pemondokannya.  

Belum  lagi persoalan transportasi udara yang hanya menggunakan Garuda Indonesia dan Saudi Arabia Airlines, katering di mana tahun 2006 lalu sempat menimbulkan kasus kelaparan para jemaah pada waktu wukuf di Arafah, proses money changer, pengembalian uang transpor bagi jemaah haji yang berada pada ring 2 dan sebagainya. Kesemuanya itu harus memerlukan manajemen yang benar-benar profesional, sehingga tidak lagi terjadi insiden memalukan sebagaimana tahun sebelumnya.   

Sesungguhnya komersialisasi ibadah haji tidak hanya terjadi di dalam negeri, tetapi juga di Arab Saudi sendiri. Terbukti para syekh yang menguasai muasasah (pemondokan) baik di Mekah maupun Madinah, sama memasang tarif tinggi untuk sewa pemondokannya. Apalagi demi penghematan terutama pada penyediaan air sehari-hari karena memang air di sana selalu membeli, para pemilik muasasah tersebut sebagian ada yang mengingkari perjanjian untuk menyediakan air secukupnya bagi para jemaah. Maka tidaklah mengherankan jika banyak jemaah yang kekurangan air sehingga terpaksa mandi sehari sekali atau dua hari sekali.    

Dengan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) tahun ini yang mencapai Rp 32 juta, menjadikan para jemaah haji seperti sapi perahan dari para oknum yang tidak bertanggungjawab. Padahal niat mereka hanya tulus untuk beribadah mencari derajat haji mabrur. 


Penyelenggara Haji

Sejak dari transportasi hingga katering, semuanya dikomersialkan. Terbukti transportasi hanya dimonopoli oleh Saudia dan Garuda dengan masing-masing mendapatkan jatah 50 persen, sehingga setiap perusahaan penerbangan tersebut mengangkut 105.000 jemaah haji. Padahal dari biaya perjalanan jemaah haji reguler yang mencapai Rp 32 juta, 60 persen (Rp 19,2 juta) dihabiskan untuk transportasi udara. Sedangkan dengan harga BBM saat ini hanya 65 dolar AS per barelnya, kedua perusahaan penerbangan tersebut jelas menuai keuntungan besar karena harga avtur sebagai bahan bakar pesawat juga turun drastis. 

Padahal penentuan BPIH dilakukan beberapa bulan lalu sewaktu harga minyak dunia mencapai puncaknya 146 dolar AS per barelnya. Seharusnya dengan turunnya harga minyak dunia, maka BPIH perlu direvisi untuk diturunkan menyesuaikan harga minyak dunia. Selain itu, untuk menekan biaya transportasi udara serendah mungkin, perlu diadakan tender yang melibatkan perusahaan penerbangan internasional lainnya. 

Itupun baru dari sisi transportasi, belum lagi asuransi, akomodasi dan pemondokan yang semuanya dikomersialkan. Untuk asuransi haji, meski diadakan tender tetapi sesungguhnya pemenangnya sudah dapat diketahui sebelumnya. Untuk asuransi haji, jelas perusahaan asuransi jiwa mendapatkan keuntungan miliaran rupiah setiap tahunnya, di mana untuk tahun lalu setiap jemaah dikenakan biaya asuransi Rp 120.000. Bagi yang meninggal dunia, keluarganya diberi santunan sesuai dengan BPIH. 

Dengan rata-rata jemaah haji yang meninggal dunia kurang lebih 400 orang, maka perusahaan asuransi haji akan menuai keuntungan bersih sebesar Rp 10 miliar. Sementara dari  sisi akomodasi dengan dalih untuk mendapatkan harga lebih murah dengan makanan berkualitas baik, Depag menunjuk perusahaan asuransi tunggal Anna Cetering untuk menanggani akomodasi ribuan jemaah haji Indonesia yang sedang wukuf di Arafah tahun 2006 lalu, sehingga menimbulkan tragedi kelaparan yang sangat memalukan tersebut. 

Sekarang pertanyaan adalah, bagaimana agar ibadah haji tidak dikomersialkan dan jemaah haji tidak lagi menjadi sapi perahan bagi oknum tertentu yang hanya mengejar fulus saja. Pertama, setiap item dari pelaksanaan ibadah haji harus melalui tender, termasuk transportasi udara, akomodasi, pemondokan dan sebagainya. Sehingga segala biaya dapat ditekan serendah mungkin seperti Malaysia. 

Kedua, Depag jangan menjadi penyelenggara tunggal ibadah haji. Departemen lainnya harus juga dilibatkan sebagai penyelenggaran haji, bahkan kalau perlu ormas keagamaan seperti MUI, Muhammadiyah dan NU juga diikutsertakan. Ketiga, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Ibadah Haji perlu direvisi karena sudah ketinggalan zaman dan tidak mencerminkan konsep keterbukaan sehingga dikhawatirkan menimbulkan penyelewengan. (7 november 2008)

Sumber :

Abdul Rodhi (  Ketua LAZIS Muhammadiyah Kabupaten Klaten)

http://harianjoglosemar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=28920

20 Mei 2009 

Sumber Gambar:

http://www.wi-fiplanet.com/img/2007/12/hajj.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar