Rabu, 20 Mei 2009

MAKNA FILOSOFIS HAJI MABRUR


Kita merasa bahagia dan bersyukur bahwa kaum Muslimin di Indonesia yang berziarah ke Tanah Suci semakin meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan yang menggembirakan itu tentunya harus diiringi dengan suatu upaya penggalian terhadap makna dan relevansi ziarah tersebut secara substansial.

Karena pada hakikatnya ibadah haji bukan merupakan ibadah ritual semata. Lebih dari itu, ibadah haji adalah napak tilas perjalanan hamba-hamba Allah yang suci; Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, Siti Hajar, dan Ismail. Peristiwa yang mereka jalani amat historis, oleh sebab itu banyak pelajaran bagi kita.

Haji merupakan ibadah yang amat penting. Ibadah ini, oleh para ulama, ditempatkan sebagai rukun Islam yang kelima. Haji merupakan serangkaian ritual yang akan mengantarkan pelakunya menjadi manusia yang bersih. Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang melakukan haji tidak melakukan rafats dan tidak berbuat fasik, ia kembali seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.”

Pada sisi lain, setiap orang yang melaksanakan ibadah haji bertujuan untuk memperoleh haji yang mabrur. Tujuan itu bukannya tanpa alasan, terkait dengan hal ini, Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik amal ialah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian jihad fi sabilillah, kemudian haji mabrur.” Pada kesempatan lain Rasulullah juga bersabda, “Jihadnya orang yang sudah tua dan jihadnya orang yang lemah dan wanita ialah haji mabrur.”  

Makna Haji Mabrur

Haji bisa dikatakan mabrur jika orang yang melakukannya, sepulang dari menunaikan ibadah haji menunjukkan komitmen dan solidaritas sosial yang tinggi. Ibadah haji bisa dinilai baik dan dikatakan mabrur bila secara sosial orang yang melaksanakannya selalu memberikan manfaat kepada orang-orang yang ada di sekitarnya.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda, “...tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga.” Dengan kata lain surga adalah tempat yang pantas bagi orang yang hajinya mabrur. Hadits ini memang pantas untuk kita renungkan muatannya. Di sini, timbul pertanyaan yang perlu untuk dijawab, “mengapa haji mabrur balasannya surga?”

Secara matematis, yaitu dengan memahami makna haji mabrur itu sendiri, kata mabrur berasal dari bahasa Arab yang artinya mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Kalau kita lihat akar katanya, mabrur berasal dari kata barra, yang berarti berbuat baik atau patuh. Dari kata barra ini kita bisa mendapatkan kata birrun dan al-birru yang artinya kebaikan. Dengan kata lain haji mabrur adalah haji yang akan mendapatkan kebaikan. Sering juga dikatakan sebagai ibadah yang diterima Allah Swt. Dengan demikian, haji mabrur adalah haji yang mendatangkan kebaikan bagi pelakunya atau pelakunya selalu memberikan kebaikan kepada orang lain. Jika logika itu dibalik, maka haji yang mardud (tertolak) adalah haji yang tidak mendatangkan kebaikan bagi pelakunya atau pelakunya tidak memberikan kebaikan kepada orang lain.

Jika dipahami secara seksama, kata mabrur memiliki dua makna sekaligus, yaitu menjadi baik dan memberikan kebaikan. Makna itu menegaskan bahwa pelaksana ibadah haji adalah orang yang akan menjadi baik sekaligus selalu memberikan kebaikan kepada orang lain. Dalam hal apakah kebaikan itu harus diwujudkan? Allah berfirman, “Kamu tidak akan mendapatkan kebaikan yang sempurna, sebelum kamu mendermakan sebagian hartamu yang kamu cintai.” (Q.s. Ali-Imran [3]: 9). Ayat ini didukung pula oleh ayat lain, “Bukanlah menghadapkan wajah kamu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, para nabi, dan memberikan harta yang dicintainya...” (Q.s. Al-Baqarah [2]: 177).

Dua ayat tersebut berbicara tentang kebaikan (al-birr). Kebaikan itu di antaranya dengan memberikan harta yang dicintainya kepada orang lain. Karena kata mabrur seakar dengan kata “birr” sebagaimana disebutkan pada dua ayat itu, maka haji mabrur adalah haji yang pelakunya selalu berbagi kebaikan kepada orang lain.

Ada cerita menarik di kalangan para sufi tentang haji mabrur ini. Dikisahkan bahwa sepasang suami istri mempunyai niat yang sangat kuat untuk menunaikan ibadah haji. Dengan susah payah pasangan ini mengumpulkan bekal. Karena waktu itu naik haji melalui jalan darat dan jarak yang harus ditempuh adalah ribuan kilometer, maka mereka juga harus membawa bekal yang banyak agar tidak kekurangan.

Di tengah perjalanan mereka menjumpai berbagai hal yang menarik. Termasuk ketika pasangan ini memasuki sebuah kampung yang kehidupan penduduknya sangat miskin dan sedang dilanda kelaparan. Kondisi kampung yang menyedihkan itu menyentuh hati suami istri tersebut. benak mereka dipenuhi dengan karagu-raguan, akan tegakah mereka membiarkan orang-orang ini mati kelaparan, sedangkan di tangan mereka ada bekal, meskipun untuk perjalanan haji yang sudah amat lama mereka idam-idamkan.

Dalam suasana terenyuh ini terpikir oleh mereka untuk memberikan bekal haji yang sedang mereka bawa, lalu mereka pulang. Sampai di rumah ternyata mereka diambut oleh seseorang yang pakaiannya putih bersih. Orang yang belum mereka kenal ini  mengucapkan selamat bahwa mereka berdua telah diberkati oleh Allah mendapatkan haji mabrur. Tentu saja pasangan ini menyangkal, karena mereka merasa tidak menunaikan ibadah haji. Namun, orang yang tidak kenal itu tetap mengucapkan kata selamat kepada pasangan suami istri tersebut atas kemabruran haji mereka. Setelah menyampaikan ucapan selamat, orang asing berpakaian putih bersih itu menghilang. Ternyata, orang asing itu adalah malaikat yang menjelma menjadi manusia. 

Makna Filosofis

Dalam tradisi sufi, cerita semacam itu bisa didramatisir, sehingga tidak perlu untuk diuji kebenarannya. Yang penting bagi kita adalah hikmah dan pesan moral yang terkandung di dalam cerita itu. Kita tidak boleh menafsirkan cerita itu secara ekstrem, dengan meninggalkan ibadah haji dan memberikan semua bekal perjalanan yang kita miliki demi kemanusiaan. Jika kita tafsirkan secara lunak dan sederhana, cerita itu memberikan kesan kepada kita bahwa kita dipersilahkan untuk menunaikan ibadah haji sebanyak yang kita mau.

Tapi perlu untuk diingat, frekuensi kita menunaikan ibadah haji harus selalu diikuti dengan kepedulian sosial yang kita berikan kepada saudara-saudara kita. Artinya, ibadah haji harus kita wujudkan ke ruang publik setelah sebelumnya merupakan ruang privat. Ibadah haji harus mampu kita maknakan dalam konteks sosial yang dinamis, bukan konteks pribadi yang statis dan cenderung hedonis.

Memang, ibadah haji merupakan ibadah ritual yang tata cara pelaksanaannya sudah ditentukan sedemikian rupa. Jika ditelusuri lebih dalam, ibadah haji memberikan pesan yang amat filosofis dan begitu dalam tidak hanya bagi pelakunya, namun bagi orang yang tidak melaksanakannya. Bayangkan saja, setiap tahun kaum Muslimin dari seluruh penjuru dunia berkumpul di satu tempat, berpakaian sama, atau membaca lafadz yang sama.

Pertemuan tahunan itu mengisyaratkan bahwa mereka adalah bersaudara walaupun mereka dipisahkan oleh bahasa, bangsa, dan letak geografis yang berjauhan. Kaum Muslimin tidak sendirian. Mereka mempunyai saudara yang jumlahnya amat banyak. Mereka ibarat satu tubuh dan saling menguatkan. Mereka harus saling mempedulikan bagaimana nasib saudara mereka.

Selain itu, jika pelaksanaan haji melanggar sebuah larangan, maka mereka harus membayar dam (denda). Membayar damadalah kewajiban ritual yang harus dipenuhi. Tapi, kemanakah dan kepada siapa dam itu diserahkan? Tentu kepada saudara-saudara mereka yang tidak seberuntung seperti mereka. Hal itu membuktikan bahwa mereka harus memiliki kepedulian sosial.

Sepulangnya mereka menunaikan ibadah haji dan sesudah mereka tiba di kampung halaman masing-masing, mereka harus mewujudkan nilai-nilai haji di tengah-tengah masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa mereka harus menangkap makna filosofis haji itu secara baik. Makna filosofis itu harus menjadi terminal awal bagi perjalanan kehidupan mereka.

Makna filosofis ibadah haji yang dilaksanakan secara baik di tengah-tengah kehidupan masyarakat, membuktikan bahwa pelaksananya memperoleh haji yang mabrur. Haji mabrur tidak hanya menjadikan pelakunya sebagai orang yang baik dari waktu ke waktu, tapi juga komitmen untuk memperhatikan nasib saudara-saudaranya. Itulah sesungguhnya makna haji mabrur. Wallahu a’lam bishshawab.


Sumber:
Muhammad Qorib, Sekretaris Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PWM Sumut; dan Staf Edukatif FAI Univ. Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan. 
Suara Muhammadiyah No. 21/Th. Ke-93/1-15 November 2008 
20 Mei 2009

Sumber Gambar:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar